Sabtu, 30 Mei 2009

Kota pudak, sebutan lain dari kota Gresik

Mengapa dinamakan kota pudak? Tak jauh beda alasan utama dengan Palembang kota empek-empek, Sidoarjo kota udang, Semarang kota lumpia, Jogja kota Gudeg dan masih banyak lagi penamaan kota berdasar makanan khas daerah tersebut.

Pudak dibuat dari tepung beras dibungkus daun aren (bentuknya setelah dikeringkan seperti daun jagung namun lebih solid dan tebal) santan, variasinya makanan ini ada yang diberi campuran gula merah atau dicampur daun pandan wangi sebagai oleh-oleh khas kota Gresik. Putih untuk rasa pandan ( plain taste) dan rasa gula merah berwarna agak kecoklatan ( sweet taste). Yang lebih unik, daun aren kering tersebut DIJAHIT dengan bentuk kantung! nah gak kebayang khan...makanya buruan mampir..Dan agar selalu fresh dan tidak lembab, pudak sebaiknya digantung.. lihat deh fotonya. Setiap ikat pudak bisa tahan lama 2 -3 hari.

Dikota Gresik ada ragam kue tradisional seperti ayas, kerupuk bayam dan jenang jubung. dari yang berharga tiga ribu rupiah untuk satu ikat berisi lima buah. Jangan lupa juga untuk minum Legen yang rasanya manis dan terasa khas.Legen adalah minuman segar yang dihasilkan dari pohon aren. seperti air kelapa bersoda dan sedikit beraroma vanilla. Jika agak lama disimpan bisa menjadi tuak.

Konon pembungkus pudak didatangkan dari kota lain seperti Jember karena pohon aren di Gresik sudah jarang ditemui. Oleh karena itu, ketika suatu kali pasokan pelepah pohon jambe yang memiliki lapisan tipis berminyak di salah satu sisinya tersendat, meskipun makanan lain cukup banyak, sejumlah pemilik toko memilih tidak berjualan. Inovasi bukan tidak mereka lakukan untuk mencari alternatif pengganti pelepah pohon jambe.

Toko pudak mudah ditemui di jalur keluar kota Gresik depan kantor SemenGresik A.Yani sebelah kiri atau di daerah pasar Gresik Jalan Sindujoyo dan satu lagi yang terkenal di Jl AKS TUbun dekat studio Radio Elbayu Gresik.


Selamat berburu pudak!


disarikan dari berbagai sumber.

Kamis, 07 Mei 2009

Nasi Krawu, Hidangan Khas Gresik di tengah Kota Jakarta

Nasi Krawu adalah makanan khas kota Gresik. Makanan ini merupakan campuran dari nasi dan daging sapi dengan kadar minyak yang termasuk tinggi. Krawu menurut cerita berasal dari kata "krawukan", artinya ambil nasi atau lauk dengan jari tangan langsung, tanpa alat bantu sendok atau lainnya.

Nasi krawu Gresik mirip dengan Nasi Langgi, yang khas kota Solo, sama-sama didominasi unsur daging. Bahkan lauk utama nasi krawu adalah daging dan jerohan sapi yang dimasak semur. Disajikan di atas daun pisang, nasi krawu dimakan bersama daging sapi yang disuwir-suwir, jerohan dengan sambal terasi pedas pekat, dipadu sambal dari parutan kelapa yang biasa disebut srundheng.

Srundheng terdiri dari tiga macam. Yaitu krawu, abon dan mangot. Krawu berwarna merah pedas, abon berwarna kuning berasa manis. Sedangkan mangot adalah kelapa tidak diparut tetapi ditumbuk dicampur kluwak, rasanya gurih.

Namun, menurut sebuah sumber, Nasi Krawu aslinya bukan dari Gresik, tapi masakan khas Madura. Namun, di Madura sendiri hampir tidak ada lagi yang memasak Nasi Krawu. Sebagian besar pedagang nasi krawu berasal dari Madura, atau masih masih punya ikatan saudara. Sedangkan masakan asli bikinan orang Gresik jaman dulu adalah nasi Roomo. Roomo adalah sebuah wilayah di Kecamatan Manyar yang berbatasan langsung dengan wilayah Gresik kota.

Menurut cerita yang berkembang, nasi ini ada karena pada zaman dahulu ada seorang wanita setengah baya yang kebingungan dalam menghidupi keluarganya sampai suatu ketika dia bertemu waliyullah yang menyarankan dia untuk "menjual desanya," wanita ini faham dengan perkataan waliyullah tersebut kemudian dia menjual nasi aneh yang sekarang terkenal dengan nasi Roomo.

Bahan makanan dan penyajiannya menggunakan wadah yang khas. Nasinya disajikan dalam takir, wadah segi empat dari daun pisang yang dibuat dengan dua biting ditusukkan pada dua sisi yang saling berhadapan, setelah diratakan diberi bubur. Lauknya berupa sayur koya dan krupuk kulit sapi atau krecek.

Di Jakarta, nama Nasi Krawu tentu sudah kalah populer dengan nasi uduk atau nasi gudeg. Tidak banyak restoran yang menawarkan menu khas kota semen di timur pulau jawa tersebut. Namun, jika penasaran seperti apa nasi krawu ini, bisa berkunjung ke restoran Nasi Krawu Rejeki yang terletak di Jalan Nipah III, Kebayoran Baru, di sebelah kantor Walikota Jakarta Selatan.

Di sini, seporsi Nasi Krawu dihidangkan dengan terbungkus daun pisang yang di dalamnya berisi nasi, empal, serundeng, sambal, kering tempe dan perkedel. Menurut pemilik rumah makan ini, Agus Santoso, nasi krawu aslinya hanya terdiri dari nasi, empal, serundeng dan sambal saja. Namun untuk menyesuaikan "perut" pelanggan ibu kota, akhirnya ditambahkan perkedel dan kering tempe.

Bukan tambahan itu saja yang membuat makanan ini berbeda dengan aslinya. Kekhasan Nasi Krawu terletak pada sambalnya yang superpedas. Namun, ketika nasi ini hadir di Jakarta, tidak banyak orang yang tahan akan pedasnya sambal itu. Jadilah rasa sambalnya pun disesuaikan. Di sini, ukuran sambalnya lebih pedas dibandingkan restoran sejenis di Jakarta. Selain Nasi Krawu, di rumah makan ini juga tersedia ayam goreng penyet.

Dari berbagai sumber.

Rabu, 06 Mei 2009

Terlantar, Situs Bekas Kabupaten Sedayu

Berusia Hampir Seabad, Tinggal Onggokan Puing
Bentuknya mirip bekas bangunan yang hangus dilalap api. Semak dan sampah yang terbakar menenggelamkan nilai historisnya. Padahal, bangunan itu merupakan salah satu peninggalan bersejarah di Gresik. Yaitu, situs bekas Kabupaten Sedayu.

SISWOKO, Gresik


JEJAK sejarah Kabupaten Gresik tertapak jelas di bekas Kabupaten Sedayu yang kini menjadi Kecamatan Sidayu. Berbagai peninggalan masih membekas sebagai ikon sebuah kabupaten di zaman penjajahan Belanda. Ada pintu gerbang dan pendapa keraton. Ada pula masjid dan bekas alun-alun. Bangunan tersebut termasuk sebuah situs yang kini seperti onggokan bangunan tidak bermakna.

Diperkirakan, situs itu berusia satu abad. Situs tersebut dibangun menjelang perpindahan Kabupaten Sedayu ke wilayah Kabupaten Jombang oleh penjajah Belanda pada sekitar 1910. Sejak berdiri pada 1675, Kabupaten Sedayu dipimpin oleh sedikitnya sepuluh bupati. Bupati yang paling dikenal adalah Kanjeng Sepuh Sedayu, bupati ke-8.

Popularitas Kanjeng Sepuh Sedayu sebagai bupati maupun ulama selalu diperingati warga Kecamatan Sidayu hingga saat ini. Masyarakat mengadakan haul ke-151 dan istighotsah yang terakhir pada 13 Agustus lalu. Prosesi itu menjadi tradisi masyarakat untuk mengenang jasa bupati yang bergelar lengkap Panembahan Haryo Soeryo Diningrat tersebut. Dia meninggal pada 1856.

Berbagai peninggalan sejarah Sedayu telah mendapatkan perhatian Dinas Purbakala Trowulan. Namun, yang terawat baru kompleks masjid dan makam. Sisa bangunan lain berupa situs di Desa Mriyunan. Status pertanahan sisa-sisa sejarah itu kini belum tersentuh. Salah satunya, reruntuhan asli bekas bangunan masjid.

Puing tersebut kini terletak di dalam kompleks SMPN Negeri I Sidayu. Kondisinya memprihatinkan. Sama sekali tidak tampak ada upaya pemeliharaan dari Pemkab Gresik. Sekadar identitas bangunan bersejarah pun tidak ada. Bahkan, sebagian bekas puing ditemukan di kandang ayam.

Anggota DPRD dari Kecamatan Sidayu Uripo Gufron meminta Pemkab Gresik untuk segera menyelamatkan sisa-sisa bangunan bersejarah di bekas kabupaten tersebut. “Pemerintah harus bertindak cepat. Situs itu harus diselamatkan agar sejarah Sedayu tidak hilang,” ujar Uripo.

Selain soal perhatian pada situs, dia menyebut, yang paling mendesak adalah kejelasan status tanah sisa-sisa bangunan bersejarah tersebut. Uripo menilai, situs-situs bersejarah bekas Kabupaten Sedayu tersebut layak menjadi cagar budaya. Karena itu, perlu langkah-langkah konkret untuk menyelamatkannya agar tidak terhapus oleh zaman. Sebagian peninggalan sudah dibongkar oleh tukang bangunan demi pembangunan gedung sekolah. “Sebelum sejarah Kabupaten Sedayu terhapus, harus ada langkah penyelamatan,”kata Uripo.

Minggu, 03 Mei 2009

Sedekah Bumi, Petani ”Libur”

GRESIK - Sekitar 500 ancak berjajar dari empat penjuru mata angin di perempatan Dusun Betiring, Desa Banjarsari, Kecamatan Cerme, Gresik. Ancak-ancak tersebut digunakan untuk acara puncak sedekah bumi. Tiap setahun sekali, warga desa yang terletak sekitar setengah km dari Kantor Pemkab Gresik itu selalu menghelat ritual sedekah bumi.

Nah, kemarin (26/11) bertepatan dengan 27 Dulkangidah (Selo, penanggalan Jawa) yang merupakan hari istimewa bagi warga Dusun Betiring. Pada hari yang diyakini keramat itu, tak satu pun warga berani turun ke sawah. Bahkan, beberapa warga yang berstatus pegawai pun memilih meliburkan diri.

Maklum, hari itu mereka bergotong royong melaksanakan sedekah bumi. Suasana gotong royong memang sangat lekat dalam masyarakat Betiring.

Ritual sedekah bumi diartikan sebagai ungkapan rasa syukur kepada Allah SWT. Selain warga, acara itu dihadiri Bupati Gresik Robbach Ma’sum bersama beberapa pejabat dan tokoh masyarakat setempat.

Beberapa pengunjung dari luar, yaitu keluarga jauh warga Betiring, juga ikut memeriahkan ritual tersebut. “Kendati masyarakat saat ini sedang kesulitan mendapatkan pupuk, alhamdulillah sedekah bumi ini tetap dapat dilaksanakan. Ini menandakan rasa gotong-royong warga Betiring sangat kuat” ujar Robbach. (pra/ib)

Radar Gresik.

Perayaan Tradisi Sedekah Bumi ala Dusun Betiring, Desa Banjarsari, Kecamatan Cerme

Arak Ancak dan Pusaka sebagai Lambang Syukur
Masyarakat Dusun Betiring, Desa Banjarsari, Kecamatan Cerme, punya cara unik untuk mensyukuri rezeki dari bumi tempat mereka tinggal. Mereka mengadakan sedekah bumi. Tradisi itu dilakukan dengan berbagai acara khas.
SISWOKO, Gresik
Sabtu (8/12) pagi, bertepatan dengan 27 Dzulkaidah atau Selo (Jawa, Red), 480 ancak (tandu kayu) berjajar di Balai Dusun Betiring. Jumlah ancak itu sekaligus mewakili total kepala keluarga dusun yang berjarak sekitar 7 kilometer dari Kota Gresik tersebut. Isinya berbagai makanan, mulai buah hingga jajanan yang dilengkapi hiasan.
Setiap ancak selalu dihiasi rengginang (sejenis kerupuk) sepanjang sekitar 1 meter. Bentuknya dibuat menyerupai tanduk kerbau dan diletakkan di pojok ancak. Sebagai tempat makanan, ancak itu tergolong sangat besar sehingga perlu diusung beberapa orang ke tempat upacara.
“Ada pula yang harus diangkut dengan mobil,” kata Toyibin, ketua panitia sedekah bumi. Setiap ancak menghabiskan biaya Rp 300 ribu sampai Rp 500 ribu. Beberapa warga bahkan rela merogoh kantong hingga Rp 1 juta untuk membuatnya. “Bukan untuk jorjoran atau pamer. Itu lebih bermakna syukur agar rezeki melimpah,” tambahnya.
Sebelum puncak acara Sabtu pagi, Ki Priambodo, 65, sesepuh sekaligus kepala dusun setempat, menabuh bendhe pusaka Among Projo. Yaitu, gong kecil untuk mengumpulkan masyarakat desa.
Setelah masyarakat berkumpul, Ki Priambodo membuka payung pusaka bernama Tunggul Rekso. Payung dan bendhe itu diarak berkeliling kampung sambil membaca salawat nabi. Arak-arakan berakhir di tempat acara hajatan (selamatan).
Konon, kedua benda pusaka itu hadiah dari Kanjeng Ngabehi Tumenggung Pusponegoro (bupati pertama Gresik pada 1617 Masehi). Jadi, pusaka bendhe dan payung itu sudah berumur ratusan tahun.
“Untuk menghormati Ki Pusponegoro yang makamnya ada di Kompleks Pemakaman Maulana Malik Ibrahim, hadiah itu kami pakai sebagai kelengkapan sedekah bumi,” ujar Ki Priambodo.
Menurut dia, tradisi sedekah bumi memang tidak lepas dari kegiatan spiritual. Sebelum acara Sabtu, warga berziarah ke makam leluhur masyarakat setempat, yaitu makam Kiai Ageng Betiring dan Makam Sunan Giri. Warga, khususnya yang laki-laki, berziarah ke makam setempat yang diberi nama kulahan. (roz)
Radar Gresik

Sabtu, 02 Mei 2009

Lelang Bandeng, Tradisi Malam Songolikuran Ramadan di Gresik

Bandeng Petambak Langka, Diganti Bandeng Kawak Pedagang
Prosesi lelang bandeng Gresik berlangsung meriah tadi malam. Tradisi tahunan setiap malam songolikuran (malam 29) Ramadan itu terus dipertahankan.
CHUSNUL CAHYADI, Gresik
BANDENG Mengare, sebuah pulau di Kabupaten Gresik, masih terkenal kelezatannya. Rasanya gurih dan tidak bau tanah. Bandeng Mangare dari Kecamatan Bungah dikenal luas hingga ke luar daerah.
Pulau Mangare terdiri atas tiga desa, yakni Tanjungwidoro, Kramat, dan Watuagung. Hampir 100 persen warganya petani bandeng dan udang windu. Kali terakhir, petambak Mengare turut meramaikan lelang bandeng 2003 lalu. Dia adalah H Sirajudin Munir, 43.
Waktu itu, pria asal Desa Tanjungwidoro, Kecamatan Bungah, tersebut membawa dua ekor bandeng masing-masing seberat 8,6 dan 7 kilogram. Bandeng itu hasil penangkaran 7 hingga 8 tahun. Dua bandeng tersebut laku dengan harga melangit, yaitu Rp 15 juta dan Rp 9 juta. Lelang bandeng pun begitu semarak bagi para petani tambak.
Namun, seiring dengan perkembangan waktu, lelang bandeng seperti hanya jadi rutinitas tahunan. Dalam tigatahun belakangan, mulai 2004, bandeng kawak yang dilelang bukan milik petambak, melainkan pedagang ikan.
Itu terlihat pada lelang bandeng pada 2005 dan 2006. Sebagian bandeng yang dilelang bahkan tidak diketahuimilik siapa. Akibatnya, harga bandeng kawak pun anjlok.
Kondisi itu, rupanya, masih berlangsung hingga sekarang. Tahun ini, lelang bandeng digelar di depan Pertokoan Multisarana Plaza Jl Gubernur Suryo. Ada dua bandeng kawak yang menjadi primadona.
Yakni, bandeng seberat 12,86 kilogram dan 7,86 kilogram. Kedua bandeng kawak itu, kata panitia lelang, juga milik pedagang ikan, bukan petani tambak.
Kepala Bagian Humas Pemkab Gresik Mighfar Syukur mengatakan, tradisi pasar dan lelang bandeng itu mulai ada saat Kanjeng Sunan Giri (Maulana Ainul Yaqin), salah satu penyebar agama Islam di Pulau Jawa yang makamnya di bukit Giri Jl Sunan Giri, Kecamatan Kebomas, Gresik.
Setiap bulan puasa, terang Mighfar, banyak santri yang datang ke Giri Kedaton untuk belajar ilmu agama. Ketika menjelang Idul Fitri, sebelum pulang ke daerah, para santri menyempatkan diri berbelanja oleh-oleh.
Tradisi itu terus menyebar sehingga para pedagang bandeng dari luar daerah banyak mengadu nasib menjual bandeng di Gresik menjelang Idul Fitri. Tradisi tersebut terus berlanjut sampai sekarang.
Budayawan Gresik Umar Zainuddin punya gagasan lebih besar. Menurut dia, lelang bandeng bisa menjadi wadah para pengusaha kecil Gresik untuk memasarkan hasil karyanya kepada masyarakat. Harapannya, mereka bisa mendapatkan rezeki pasar bandeng itu. Tradisi lelang bandeng tersebut juga bisa menjadi sarana memperkenalkan wisata.
Pada even tahunan itu, bisa disuguhkan aneka makanan dan kerajinan, ciri khas Gresik. Karena itulah, Umar Zainuddin bersama sejumlah budayawan Gresik lain sedang menggagas pasar jajan khas Gresik. “Budayawan dan pengusaha sudah menyatakan siap membiayai even ini,” tandasnya. Rencananya, pasar jajan khas Gresik itu dihelat di Kampung Kemasan, Jl Nyai Ageng Arem, Gresik. (*)
Radar Gresik.

Kamis, 30 April 2009

Ketupat Ketheg, Makanan Khas dari Kampung Giri

Lebih Gurih karena Dimasak dengan Air Sumur Minyak
Warga Kampung Giri, Kecamatan Kebomas, punya ketupat khas. Tidak seperti ketupat yang biasa disajikan dalam suasana Lebaran, ketupat Giri boleh dibilang istimewa, baik cara memasak maupun rasanya. Seperti apa kekhasannya?
CHUSNUL CAHYADI, Gresik
Sepintas, ketupat buatan warga Kampung Giri ini mirip dengan ketupat lain, dibungkus anyaman daun janur. Tetapi, kalau diteliti, akan ditemui banyak perbedaan. Ketupat Kampung Giri ini lebih gurih dan lengket ditangan. Warnanya pun beda, bukan putih, melainkan kehijauan. Bahan ketupat bukan beras, melainkan campuran beras dan ketan.
Yang membedakan, air untuk memasak ketupat ini bukan air yang lazim untuk memasak. Ketupat umumnya dimasak dengan air sumur, PDAM, atau air isi ulang. Namun, ketupat dari Kampung Giri dimasak dengan air sumur yang mengandung minyak. Warga setempat biasa menyebut lanthung karena warnanya kehitaman.
Di Kampung Giri, hanya ada empat sumur. Semuanya berada di Desa Sekarkurung, Kecamatan Kebomas. Airnya sedikit keruh karena memang bercampur dengan minyak. “Karena itulah, kami menamakan ketupat di sini ketupat ketheg. Airnya bercampur minyak,” kata Muhlas Yusli Saputra, pemuda Desa Giri.
Menurut dia, sumur ketheg ada sejak zaman Belanda dan waktu itu digunakan untuk kegiatan eksploitasi minyak. Setelah merdeka, sumur tersebut dikuasai warga secara turun-menurun. “Warga masih mengambil minyak mentah di dalam sumur untuk kebutuhan sendiri. Salah satunya digunakan untuk merendam dan memasak ketupat ketheg,” jelas Muhlas.
Muhlas menambahkan, meski air untuk memasak terdapat campuran lanthung, dia mengaku belum pernah mendengar ada warga yang keracunan gara-gara makan ketupat ketheg. Juga, belum ada informasi orang sakit karena makan ketupat khas ini. “Yang ada justru banyak warga luar Giri yang datang ke sini untuk mencicipi,” jelas dia.
Fatimah, warga Desa Sekarkurung, menyebutkan, proses membuat ketupat ketheg tidak ubahnya membuat ketupat biasa. Sebelumnya, harus disiapkan anyaman janur berbentuk ketupat yang kemudian direndam di dalam air sumur ketheg.
Sementara, isi ketupat adonannya seperti biasa. Beras atau beras ketan dicuci dengan air sumur ketheg hingga beberapa kali. “Setelah selesai, air dibuang. Kemudian, beras ketan dimasukkan ke dalam bungkusan ketupat yang sudah ditiriskan. Selesai membungkus, ketupat siap dimasak dalam air ketheg hingga enam jam,”kata dia.
Setelah masak, ketupat ditiriskan dan digantung untuk diangin-anginkan agar isinya keset atau tidak lembek. Karena dicuci, direndam, dan direbus dengan air sumur ketheg, wujud ketupat ketheg tidak sebersih ketupat biasa. Warnanya kecokelat-cokelatan mirip warna air lanthung di dalam sumur.
Soal rasanya, Imam Suyitno, warga Surabaya, yang memiliki saudara di Sekarkurung, mengatakan jauh lebih enak daripada ketupat biasa. “Enak, baunya khas agak wangi. Rasanya juga gurih seperti ada campuran rempah-rempahnya,” kata dia.
Menurut Imam, dimakan langsung pun rasa ketupat ketheg sangat enak. Apalagi, dimakan dengan sayur lodeh dan opor ayam serta sambal goreng ati. “Silakan coba, saya saja habis dua bungkus,” tutur Imam menawarkan. Ketupat ketheg ini tidak hanya jadi suguhan Lebaran. Namun, di hari biasa juga bisa ditemui di lokasi Wisata Religi Sunan Giri. (*)
Radar Gresik

Template by:
Free Blog Templates